. Lembayung Senja (Briseis): Sebuah Keris

Jumat, 08 Juli 2011

Sebuah Keris

Sejujurnya aku sangat terbiasa dengan pujian dan kekaguman orang lain terhadapku. Entah itu fisikku, kecepatanku mengambil sikap pada saat yang tepat, buah pikiranku. Saking terbiasanya, sering aku menjadi tertawa sendiri ketika pujian itu sangat tidak sesuai dengan yang sebenarnya diriku, tapi toh sangat kunikmati.
Lalu jadilah aku pecandu pujian. Tapi orang-orang disekitarku pun tak pernah jemu menghujaniku dengan candu-candu itu.
Tanpa kusadari dan mereka sadari, segala bentuk pujian yang kuterima, pelan-pelan berubah menjadi senjata tajam serupa keris Mpu Gandring yang mematikan bagi akal sehat dan hati nuraniku sendiri, yang sebelumnya kubekap oleh tangan ego diriku.
Keris Mpu Gandring adalah senjata pusaka yang terkenal dalam riwayat berdirinya Kerajaan Singasari. Keris dengan bentuk dan wujud yang sempurna bahkan memiliki kemampuan supranatural yang konon dikatakan melebihi keris pusaka masa itu. Keris yang juga terkenal karena kutukannya yang memakan korban dari kalangan elit Singasari termasuk pendiri dan pemakainya sendiri, Ken Arok. Seperti itulah pujian itu bagiku.

Kemudian seseorang dihadirkan di lembar perjalanan hidupku, apa yang ada pada dirinya membuatku terkagum-kagum.
Segala yang ada padanya, tulisannya, kata-kata bijaknya, kebaikannya, pengertiannya membiusku pada keanehan bernama cinta. Kurindukan ia sepanjang hari, kutunggu-tunggu kehebatan kata-katanya yang mengandung banyak motivasi dan yang paling kunanti tentu pujiannya kepadaku sebagai bukti ia mengagumi dan mencintaiku pula dalam asumsiku mengartikan cinta. Tapi seiring perjalanan waktu, tampaklah segala kekurangannya dan aku harus menelan kekecewaan ketika ia tak kunjung menyatakan kata-kata kekaguman yaitu pujian kepadaku seperti biasa sering aku terima dari yang lain yang mengagumi dan memujaku.
Sampai-sampai pernah terbit di benakku untuk menunjukkan padanya, betapa penuh inbox FBku berisi pujian, rayuan dan kiriman-kiriman dahsyat nan romantis yang kuterima dari para pemujaku, betapa banyak puisi-puisi indah yang mereka ciptakan untukku dimana-mana.

Huufh.. Satu keluhan kulepaskan, bukan keluhan sebenarnya lebih tepat kekesalan. Malah lagi-lagi dia rajin menyapaku dengan sebutan-sebutan aneh yang sama sekali tak ada manis-manisnya apalagi romantis. Bisa dibayangkan kiranya kejengkelanku pada satu orang ini, masa aku yang segini cantiknya, manisnya, baiknya, pinternya, menawannya dibilang jelek, gak bagus tulisannya, bawel, manja, galak, puisi-puisiku disebutnya aneh dan bla bla yang jelek-jelek lagi tentangku.. Hikz.
Tapi dibalik semua itu kurasakan perhatiannya yang dalam padaku, ia mau mendengarkan kesedihanku, kekesalanku pada sesuatu, memaklumi kecerewetan dan mood jelekku, mengetahui dan mengirimi sesuatu yang kuinginkan meski hanya  sekilas kukatakan padanya dan slalu berusaha menjaga perasaanku.
Tapi akibat kecanduan, pujian itu membuatku tak peka pada hati nurani dan hati orang lain dan agak membuatku merasa bangga terhadap diri sendiri dan tak ingin kebanggaan itu sedikitpun terkurangi dan tersaingi. Hingga kujumpai orang yang kukagumi itu memuji temen wanitanya, aku jelas sangat meradang. Marah besar. Mataku hampir loncat dari kerangkanya membaca tulisan laki-laki itu yang menurut persepsiku sangat akrab dan mesra pada teman wanitanya. Harga diriku (tercampur ego) sontak terusik, terguncang. terinjak-injak.
Amarahku berteriak-teriak dalam dada, apa sih hebatnya wanita itu dibanding aku?!.. cerdasan juga aku, cantikan juga aku, hebatan juga aku dan aku aku lainnya.
Kukirim pesan inbox penuh emosi padanya, supaya "Jangan pernah berteman lagi denganku, aku males sama kamu dan aku gak suka sama wanita itu, titik!". Ditambah suara-suara entah darimana datangnya muncul dan terus mengepung hati dan pikiranku, suara itu bilang "Enak aja kamu sang bintang disamain sama yang kayak gitu.. huh! gak level. Gak setara dengan kamu banget, belum tahu kali ya dia itu cowok-cowok yang ngejar kamu tuh seabrek. Ganteng-ganteng semua, paling apesnya tampang cowok-cowok itu tuh cuma segaris dibawah Christian Bautista, penyanyi asal Philipina itu". dan suara entah itu kembali berbicara lantang," Dasar laki-laki tebar pesona, keganjenan, selera rendahan dia itu. Sudahlah lupakan saja segala kebaikannya, segala pengertiannya sama kamu".
Sambil kutunggu balasan darinya, suara itu tak berhenti membisikkan segala umpatan-umpatan atas nama harga diri dan sedikit kecemburuan. Akhirnya laki-laki itu membalas pesan inboxku dan mengatakan, "Kamu capek sendiri kalau berpikir yang negatif terus tanpa tahu permasalahan yang sebenarnya".
Ahh, alasan.. pikirku. Kubalas lagi, "Terserah.."
Hari-hari selanjutnya ku upayakan melupakan laki-laki itu, kusibukan diriku dengan segala hal yang bisa membuatku tak memikirkannya. Tapi kian hari, nurani terdalamku merasa tersiksa dan lirih berbisik, semudah itukah aku melupakan kebaikan orang padaku? benarkah wanita itu berada di bawah levelku? benarkah aku sehebat yang sering dikatakan orang? benarkah aku lebih baik dan cerdas dibanding orang lain. Pantaskan aku menilai diri sendiri lebih tinggi dan mulia dari orang lain? Pantaskah aku menilai orang lain jauh lebih rendah dariku? Pantaskah aku bangga terhadap diri? lalu apa bedanya aku dengan iblis yang memandang rendah Adam? Layakkah aku menyetarakan diri dengan Yang Maha Benar dan Maha Menilai?. Tak sanggup rasanya kutanggung pengadilan hati nuraniku sendiri, tapi yang kutahu pasti kebenarannya dari segala pertanyaan yang menderaku tajam adalah sangat tidak benar, pantas dan layak. Terlintaslah kalimat bijak yang klise tapi bermakna luas dan dalam, bahwa ada langit diatas langit. Tersentak aku dengan kalimat kecil itu diikuti penyesalan-penyesalan yang membanjiri sumur tak berdasar hati.
Pikiran dan hatiku terus berputar dengan pemaknaan diri. Apakah bagiku, hanya sampai pada niat yang benar saja untuk menjadi manusia benar menurut kebenaran sejati, namun berhenti pada hakikat manusia yang mesti belajar memahami dan menyimak diri dan manusia lain di sekitarnya pada perbuatan, bukan hanya selesai di ujung kata-kata. Karena real itu butuh waktu seumur hidup? Lalu, kapan akan berbuat?.
Sampai disini saja aku mulai kelimpungan. Ah, apakah karena pikiran dan hatiku terlalu dangkal untuk memahami banyak hal dalam kesejatian? Sangat mungkin. Dan kuputuskan untuk mengambil pembimbing untuk meluruskan pola pikirku dan menentramkan penyesalan batinku. Tapi siapa? Kemudian terjawab, siapa saja. Ya, siapa saja orang yang ada dalam kehidupanku baik yang kukenal maupun tidak dalam baik buruknya, kesalahan dan kebenarannya, kekurangan dan kelebihannya. Selama itu bisa membuatku semakin menjadi lebih baik dari hari ke hari dan menjadikanku manusia yang mau menerima semua itu dan mengambil kebajikan-kebajikan di dalamnya tanpa memenangkan suara jelek yang bernama amarah. Untuk alasan apapun penerimaan dan kesabaran selalu lebih baik dibanding memlilh membenci dan mengusir seseorang dari kehidupan kita. Karena toh basic manusia itu dua hal yang sama; ada kelebihannya, ada kekurangannya dan itu tentu termasuk diriku. Dari pikiran-pikiran hati dan rasio itu pada akhirnya malah kutemukan banyak kekuranganku, kebodohanku, kesombonganku. Padahal aku membenci kesombongan tapi tak sadar aku berada disana.
Lengkap sudah, benar-benar sempurna menjadi manusia itu sendiri.
Aku capek, duduk, namun tak bisa menangis. Meski tahu apa yang harus kutangisi. Andai Muhammad SAW masih hidup, Aku akan mendatangi dan meminta tolong beliau mendiagnosa jiwaku. Khayalan muluk yang sangat kuinginkan.
Kenapa capek? Memangnya apa yang sudah dikerjakan ? Tak ada ! Jangan-jangan aku sedang diingatkan tapi ngeles. Dan semuanya hanya untuk sebuah kalimat; karena aku selama ini malas memahami  dan tidak bersungguh-sungguh mencari kesejatian hakikat kebenaran dan kebijakan sejati  itu diatas kekurangan dan kelebihan diri dan manusia lain.
Kemudian, dengan perasaan masih agak tertekan karena malu sendiri, kukirim pesan beberapa hari kemudian kepada laki-laki itu untuk meminta maaf atas segala ucapan dan sangkaku yang belum tentu benar dengan keadaan sebenarnya kemarin, meskipun benarpun ku paksakan melapangkan dada menerima semua itu sambil berusaha  mengenyahkan harapan ia mau memaafkan aku dan kuingatkan dengan tegas diriku untuk menerima apapun jawabannya. Syukurlah, dia mau mengerti dan memaafkan aku lagi dan lagi. ^_^
Kupikir laki-laki itu, yang ia sadari atau tak sadari telah mengajarkan aku untuk mau menerima kekurangan diri dan orang lain dengan sebenarnya kejujuran hati nurani. Dan memberi mata pelajaran hidup bijak bahwa setiap keburukan yang menghantarkan kita pada kebaikan, adalah; kebaikan juga. Kupahami permatanya disini, setiap pertemuan kita dengan manusia lain selalu membawa hikmah dan pelajaran sendiri untuk masing-masing jiwa. Kupastikan diri untuk tak lagi memegang dan merawat keris Mpu Gandring di genggaman hatiku.
Tetapi aku dan mungkin orang lain yang memiliki kasus jiwa serupa denganku memerlukan waktu untuk berproses dan belajar terus tentang makna diri, manusia lain dan kehidupan dalam hitam putihnya. Dan waktu yang dibutuhkan ternyata seumur hidup. Tapi tak akan mungkin bisa berjalan jika aku sendiri diam di tempat dan terkurung pada pikiran sendiri. Layaknya belajar Al qur'an, nampaknya aku harus mengulang kembali dari a,ba,ta,tsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar